“kruuk..” Suara perutku
menggemma di ruangan.
Terdengar suara wanita dari arah dapur. “Tunggu sebentar
ya nak, ibu sedang masak.” Suara itu terdengar aneh, tangis dan tawa bercampur
satu dalam satu hentakan. Sangat aneh!
Aku
tertunduk lemas. Lapar dan haus membuat perutku mual, rasa mual ini berbeda
dengan rasa mual yang biasa orang lain rasakan. Mual ini sangat menjijikan.
Jarum panjang jam mulai berputar delapan, sempilan,
sepuluh, sebelas, dua belas. Dua puluh menit telah berlalu.
Karena rasa lapar yang semakin
kuat, hidungku mulai sensitif akan sekitar. Tercium aroma yang begitu harum,
“Hmm..
Aroma ini.” Otakku sudah terpenuhi oleh beribu bayangan makanan dengan rasa yang
begitu lezat. Salah satunya sup daging dengan bumbu cabainya. Perutku semakin
merengek, dan tanpa sadar air liurku mulai berjatuhan.
“Tidak,
bukan makanan ini yang aku mau.” Aku berusaha menahan rasa laparku dengan
menggigit lidahku. Cairan merah kental jatuh menetes ke bajuku yang sudah
terpenuhi oleh warna dan aroma yang sama. Aku mencoba memejamkan mata untuk
sesaat.
Tak..tak..tak
suara langkah terompah menggema di ruangan merah ini. Tidak, seharusnya dinding
ruangan ini berwarna putih!
Wanita dengan rambut hitam sepinggang berjalan dengan terhuyung-huyung menuju ke arahku. Nafasnya terengah-engah, pandangannya dingin, tidak! Lebih tepatnya kosong, tatapan itu ter-tunjuk padaku, membuat perutku semakin mual.
“Silahkan
nak, ibu sudah masak kesukaan mu nih.” Wanita itu menaruh mangkok yang
berisikan sup daging yang sedari tadi aku dambakan.
Dia
tersenyum, membuat diriku tak bisa lagi menahan rasa mual yang begitu kuat.
“Wueek..”
Mual yang sedari kutahan terlepas begitu saja. Sudah tidak ada lagi makanan,
hanya air bening dan rasa perih yang kurasakan saat muntah itu terluapkan.
“Nak kamu gak papa?” Tanya wanita itu dengan alis yang
mengkerut.
“E..e..en..ngak.” Jawabku terbata-bata.
“Yuk sini ibu suapin.” Kata wanita itu sambil menyodorkan
sendok berisi kuah sup yang dia bawa.
“…” Aku hanya diam, saat melihat kuah sup yang sedari
tadi ku dambakan kini ada tepat di depan mulutku.
Kuah sup itu bukan yang aku
inginkan.
“Ayo nak!” Kata wanita itu kembali dengan nada yang lebih
tinggi.
“…” Lagi-lagi aku hanya diam, tanpa mengeluarkan
sedikitpun kata.
“Ayo makan, jangan buat ibu menunggu!” Wanita itu menarik
mulut ku, dan memaksanya untuk terbuka.
Sulit bergerak bagiku dengan tangan dan kaki yang terikat
erat di bangku. Aku hanya bisa melawan dengan menggelangkan kepala.
“Ibu tanya, kamu mau makan atau tidak?” Tanya wanita itu
dengan raut wajah yang kecewa. Mukanya kini tampak jelas di depan mataku.
Tercium bau yang sangat menjijikan dari mulutnya saat dia bicara. Bibirnya biru
pucat, seperti mayat yang baru di kubur.
“Ti..ti..tidak” Kali ini aku mencoba menjawabnya.
Tanganku bergetar, wajahku memucat. Apa aku akan sama seperti dia?
“Baik kalo kamu nggak mau makan. Oh ya, ibu tadi masak
sate juga loh.” Wanita itu bangkit dari tempat duduknya sambil membawa
semangkuk supnya. “Kamu coba cicipi ya nak.” Wanita itu beranjak dari
pandanganku
Untuk sesaat tubuhku kembali bisa bergerak. Aku mencoba
melihat sekitar dan mencoba mencari celah. Namun hasilnya nihil, belum sempat
aku berganti pandangan wanita itu datang kembali ke padaku dengan piring di
tangannnya. Sate dan rendang, makanan nikmat namun tidak untuk saat ini.
“Sekarang kamu coba makan ini.”
“…” Aku menanggapinya dengan menggelengkan kepala.
“Yaudah kamu coba satenya aja ya.” Wanita itu memohon padaku
agar mau memakannya.
“…”
“Anak sialan! kamu maunya makan apa hah!.”
“..” Tubuhku bergetar. Mataku hanya fokus pada rendang
dan sate yang wanita itu bawa.
Plak.. Wanita itu menamparku hingga tersungkur.
“Kamu memang anak yang tidak tau diri ya!” Raut wajahnya
begitu mengerikan. Dia marah, namun senyumannya itu tidak pernah lepas dari
wajahnya.
“…”
“Cepat makan ini!” Wanita itu menarik rambutku hingga
palaku terdangak.
“Tidak..tidak..” Aku berteriak memohon padanya. “Maafkan
aku ibu..”
Wanita itu tidak mempedulikan
kata-kata ku dan memaksakan sendok yang berisi daging rendang itu ke dalam
mulutku.
“Cepat buka mulutmu!”
“Tidak ibu, jangan.”
“Cepat buka!”
“Tidak bu..”
“Cepat!” Teriak wanita itu sambil menghempaskan mangkuk
yang berada di depanku.
Prank.. Mankuk itu pecah, belingpun berserakan. Namun
tidak hanya beling saja yang terlihat berantakan, tetapi sesuatu yang terlihat
tidak asing untukku. “Iya” mata itu, aku mengenalnya, itu mata ayah. Suami dari
wanita itu.
“Tidak bu, aku tidak mungkin memakan daging manusia..”